Ternyata beliau meninggalkan kode pada kami yang tak peka bahwa itu adalah tanda kepergian beliau. Siang ini, saudaraku menceritakan kembali bagaimana dialog antara ia dan ayah. Kira-kira percakapannya begini,
Nyatanya, aku masih tertinggal di umur 8 tahun. Metha kecil dulu, selalu terabaikan dan merasa tidak bisa mengekspresikan perasaannya. Banyak mereka yang tumbuh tanpa mengakui kesalahan dan menuju kehalaman selanjutnya. Tanpa sadar, mereka telah menciptakan karakter robot yang seperti itu sejak kecil. Ternyata perasaan-perasaan seperti ini hanya perlu pengakuan, memeluk lagi rasa tidak nyaman, penerimaan dan merawat luka. Dan rutinitas seperti itu yang aku coba mulai untuk mengenalkan pada diri sendiri.
Pertanyaan ini masih saja terus kutanyakan berkali-kali, dalam diam dan diam-diam. Sekarang, aku sudah siap untuk menggali luka-luka lama dan berusaha untuk menyelesaikannya. Karena jika sengaja dibiarkan, akan menjadi luka jejas yang mengerogoti secara perlahan.
Lumayan banyak jeda antara aktivitas keseharian dan jurnaling akhir-akhir ini. Dan itu yang menjadi trigger untuk coba mendiskusikan dengan diriku sendiri. Mencoba menyapa setelah sekian lama aku diamkan. Hai, metha. Apa kabar? Are you okay? Ternyata sudah selama ini kamu berdiam saja tanpa menyapaku. Terimakasih ya sudah membersamai diri ini dan masih mau terus melangkah bersama. Jahatnya aku, terkadang sengaja menyibukkan diri untuk membatasi diri dari keingintahuan lebih dalam tentang diri sendiri.
Problems? Yah, aku rasa semua orang pernah mempunyai kekhawatiran semacam ini. Semua orang mempunyai hari dimana tidak ada jeda untuk sebuah problem. We through day by day with problem. But, that’s not main focus. Bagaimana cara kita melihat setiap masalah yang datang itu sebagai media refleksi diri. Bagaimana cara kita menganggap bahwa itu adalah sebuah ujian, teguran atau semisalnya. Semua yang terjadi adalah cerminan bagaimana kehidupan kita.