Dialog pagi

Nyatanya, aku masih tertinggal di umur 8 tahun. Metha kecil dulu, selalu terabaikan dan merasa tidak bisa mengekspresikan perasaannya. Banyak mereka yang tumbuh tanpa mengakui kesalahan dan menuju kehalaman selanjutnya. Tanpa sadar, mereka telah menciptakan karakter robot yang seperti itu sejak kecil. Ternyata perasaan-perasaan seperti ini hanya perlu pengakuan, memeluk lagi rasa tidak nyaman, penerimaan dan merawat luka. Dan rutinitas seperti itu yang aku coba mulai untuk mengenalkan pada diri sendiri.

Percakapan tadi pagi, membawaku untuk diam saja. Tidak lagi aku mengakui perasaan dan ketidaknyamanan. Enggan lagi menunjukkan kepada semua orang atas apa yang aku rasakan. Kali ini, aku harus bisa memfilter dan menitipkan kepada siapa yang benar-benar bisa aku titipkan perasaan ini.

Aku tidak marah. Barangkali, itu memang ketidaktahuan. Kali ini, aku coba memproses kata-kata yang aku terima pagi ini. Banyak ketidakmauan dalam mengakui “ya, aku salah”. Jujur, mengakui atau tidak, sebenarnya itu bukan masalah bagiku. Tapi akan menjadi masalah, jika pengakuan itu tidak diucapkan dan terus berkelanjutan ke masalah masalah lain. Ini demi kebaikan diri mereka sendiri. Bukan aku. Berani mengakui kesalahan adalah tanda bahwa kamu sudah bertanggung jawab atas pilihan yang diambil dan kamu terima semua konsekuensinya. Itu saja.

Aku baru menyadari istilah verifikasi, validasi dan konfirmasi pada saat pertama kali magang. Ternyata, sebegitu penting istilah tersebut untuk mengetahui keadaan kita yang sebenarnya. Dan itu berlaku disetiap keadaan. Agar kita bisa menyampaikan informasi dengan jelas dan pesannya tersampaikan. Lagi-lagi, aku menemukan kegagalan dalam penyampaian informasi pagi ini. Padahal tidak seperti itu seharusnya. Salah paham untuk kesekian kalinya. Bukankah kita berhak untuk menyampaikan apa yang kita rasakan?

Leave a comment