Yang Terlewatkan

Kembali diingatkan tentang syarat mati tidaklah harus tua. Lalu pertanyaanya, sudah cukupkah bekalmu?

Pernah kutemui mereka yang masih muda, sedang berada dipuncak karir. Lalu Allah meminta Izrail menjemputnya. Pernah juga aku melihat pemimpin keluarga pergi meninggalkan banyak anak-anak yang masih kecil. Ibu yang sedang melahirkan anak pertama, atau pun sebaliknya, anak pertama meninggalkan keluarga tercintanya. Pernah kutemui mereka ketika berziarah, keluarga yang ditinggalkan menangis sejadi-jadinya. Perihal menikah, hidup, lahir, jodoh, dan mati sudah memiliki catatan tersendiri di lauhul mahfudz. Masih pantaskah kita berfoya-foya hanya untuk segelintir dunia ini. Sadarlah, kita hanya berpacu pada waktu. Ada banyak sekali cerita tentang kematian. Bagaimana perantaranya juga bermacam-macam.

Dari kita mungkin banyak sekali yang membayangkan pernikahan kita seperti apa, ingin nikah seperti bak putri di istana, tinggal dirumah mewah. Tapi, pernahkah kita membayangkan bagaimana kita nanti ketika meninggal. Tentu tidak. Karena hal ini adalah hal yang menakutkan bagi sebagian orang. Pemutus kenikmatan sudah ada didalam waitinglist kehidupan masing-masing. Tinggal bagaimana cara kita menyikapinya. Apakah masih mau mengelak dengan mencoba melupakan atau mengingat akan kematian itu benar adanya. Setelah mengingat mati, tentu kita akan menjadi lebih hemat dalam berangan-angan

Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan, yaitu kematian, karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya ketika dalam keadaan kesempitan hidup, melainkan dia akan melapangkannya, dan tidaklah seseorang mengingatnya ketika dalam keadaan lapang, melainkan dia akan menyempitkannya.” (HR. Ibnu HIbban dan dishahihkan oleh Al Bani di dalam kitab Shahih Al Jami).

Mati adalah pembatas kenikmatan dunia dan akhirat. Perbanyaklah mengingat mati agar tidak terlalu terbuai dengan dunia fana. Semua hanyalah ephemeral.

Coba mengingat, dulu aku juga pernah merasakan kehilangan. Ini menjadi pembatas dunia antara kami dengan Ayahanda. Benar kata Ibu, ketika kita kehilangan pemimpin, hilanglah rasa keanggunan pada anak perempuan. Sudah lama rasanya aku tidak bersikap sama seperti namaku. Justru, Adikku lebih takut ketika aku mulai menceritakan mimpi-mimpiku. Takut terjatuh ketika tidak tercapai. Tenang saja, dik. Mimpi yang aku ceritakan dulu itu berada diurutan pertama, ketika gagal. Aku masih punya urutan ke-2, ke-3, ke-4, ke-5 dan seterusnya. Tidak, ini justru latihan dalam perjalanan hidup. Dimana kutemui mereka-mereka yang jauh lebih perlu dibantu ketimbang aku. Mereka yang masih kecil sudah rapi berdiri digerbang sekolah untuk berjualan, bukan untuk sekolah. Mereka yang sedari malam tidur di stasiun untuk jualan koran, atau mereka yang sedari awal sudah standby di terminal untuk menawarkan gerobak asongannya.

Lalu, bagaimana sang anak dapat membantu orangtua yang lebih dulu pergi? bagaimana menghapus jarak diantara keduanya. Do’a dari anak yang shalih lebih baik dari apapun. Karena ketika anak shalih pasti dia akan memberikan banyak kebaikan-kebaikan kepada orangtuanya.

Kehilangan mengajarkan kita tentang awal dari hidup. Dari kehilangan kita bisa menjadi lebih tegar, dari kehilangan kita bisa menjadi lebih tangguh, dari kehilangan kita menjadi lebih sabar. Ruang kehilangan yang ditinggal, disitulah tempat perbaikan diri. Termasuk keluarga yang ditinggalkan.

Bagaimana kita sekarang, teruslah hijrah disetiap waktunya. Bukan hanya hijrah dari jahiliyah ke renaissance, dari kegelapan menuju dunia yang terang, namun lebih kepada belajar disetiap harinya. Karena hidup adalah sebuah ruang untuk perbaikan. Kita tidak tahu sampai kapan kita dikasih tenggat waktu oleh-Nya. Yang terpenting tetap berada di rute-Nya, di jalan-Nya, diridho-Nya. Perihal siapa dulu yang menjemput, biarlah menjadi urusan-Nya. Tak perlulah kita menerka-nerka seperti kata Nagita.

Leave a comment